Hari-hari ini badai salju meneror berbagai belahan bumi. Amerika Serikat dan China tak terkecuali. Beberapa sahabat kita di luar negeri juga mengabarkan dan merasakannya.
Kutub utara mencair. Di mana-mana banjir. Tanah retak.. Sementara itu, di kawasan lain panas mencekam. Korban berjatuhan dan tak terhitung lagi. Mengerikan memang!
Alam seolah memusuhi manusia. Padahal, manusialah yang memusuhi alam. Manusia yang tidak semena-menea memperlakukan alam. Layaknya makhluk Allah, alam pun merasakan kesewenang-wenangan manusia kepadanya. Alam pun murka
Itu sebabnya, penyair Taufiq Ismail dalam puisi “Membaca Tanda-Tanda” dengan gamblang menggambarkan dan mengisahkannya secara menarik. Ia memotret udara, air danau, dan burung-burung kecil yang menjadi korban ulah manusia serakah yang mengeksploitasi alam ini.
Hutan hancur. Udara beracun. Tanah longsor. Alam tak lagi bersahabat karena kita tanpa kasih sayang nekat membabatnya tanpa ampun.
Kita baca puisi tersebut selengkapnya.
MEMBACA TANDA-TANDA
Ada yang rasanya mulai lepas
dari tangan
dan meluncur lewat sela-sela jari-jari kita
Ada sesuatu yang mulanya
tak begitu jelas
tapi kini kita mulai merasakannya
Kita saksikan udara
abu-abu warnanya
Kita saksika air danau
yang semakin surut jadinya
Burung-burung kecil
tak lagi berkicau pagi hari
Kita saksikan zat asam
didesak asam arang
dan karbon dioksid itu
menggilas paru-paru
Kita saksikan
Gunung membawa abu
Abu membawa batu
Batu membawa lindu
Lindu membawa longsor
Longsor membawa air
Air membawa banjir
Banjir
air
mata
Kita telah saksikan seribu tanda-tanda
Bisakah kita membaca tanda-tanda?
Allah
Kami telah membaca gempa
Kami telah disapu banjir
Kami telah dihalau api dan hama
Kami telah dihujani abu dan batu
Allah
Ampuni dosa-dosa kami
Beri kami kearifan membaca tanda-tanda
Karena ada sesuatu yang rasanya
mulai lepas dari tengan
dan meluncur lewat sela-sela jari
Karena ada sesuatu yang mulanya
tak begitu jelas
tapi kini kami
mulai
merindukannya
Masihkah kita tak mampu membaca tanda-tanda kasat mata ini? Kita sering berlaku durhaka karena mengikuti hawa nafsu dan syahwat menguasai segalanya dengan rakus. Semua bagian tumbuhan dimakan. Akarnya, batangnya, daunnya, bunganya, dan buahnya dilahap dengan tertawa dan jumawa.
Masihkah kita tak mampu membaca tanda-tanda kasat mata ini? Kita sering berlaku tak adil kepada binatang. Mereka diburu, ditangkap, dikonsumsi, didaikan menu aneka menu makanan yang hanya membesarkan nafsu dan syahwat.
Binatang predator di alam ini sedikit demi sedikit lenyap karena ulah manusia untuk memuaskan egonya, melayani nafsunya, dan menjejali telinga, mata, dan mulut serta perutnya. Keseimbangan ekosistem alam ini akhirnya terganggu. Alam pun murka. Alam pun akhirnya mendatangkan banjir bandang, tanah longsor, gempa bumi, tsunami, gunung meletus, dan kini kita saat ini diteror wabah corona.
Ke mana lagi kita meminta pertolongan? Kepada siapa kita memohon perlindungan? Tak ada kata terlambat untuk segera menyadari semua ini. Kemudian bertobat. Kemudian kita tak lagi berbuat sewenang-wenang kepada alam ini yang juga dihuni oleh makhluk hayati dan makhluk hewani yang beraneka rupa.
Mumpung belum terlambat kita layaknya segera bertobat. Menghentikan kesewenang-wenangan ini. Selagi kita masih diberi waktu. Insya Allah.
Cibinong, 8 Februari 2021