FRAGMEN MASA LALU
masa lalu berserak di beranda rumah
rerumput membersamainya
terguyur hujan, acapkali warnanya pudar
pudarlah pula ingatan kenang
berapa kali lagi jatuh agar matamu terjaga
mematikan jantung di dalam perutmu
dan berlari segegas cahaya
manusia-manusia azmat, di mana teluknya?
gemericik air belum mampu meredam bara
dalam hati yang dicurangi kikir ini
melihat tuan di peraduan
serasa ingin aku menjelang, menikam.
Temanggung, 2020
SEBIJI PUISI
izinkan kutanam sebiji puisi
di ladang hatimu nan kerontang
agar berbunga—agar berbuah
penawar rindu,
saat kita berdiam seperti ini
dendam pun lebur
dalam nyeri yang makin hebat
saat sendiri aku mencuri
saat bersama mengenal Tuhan
merapal Ia dalam doa
—dalam setiap sujud
puisi memang tumbuh
tapi menjelma duri
akankah kini, aku putuskan memetiknya
sanggupkah!
mampukah!
Temanggung, 2020
DENDAM DI LEMBAR PUISI
aku menulis dendam
pada lembar puisi
sebab mulutku beku
serupa jalan terguyur hujan
semalam, bunga-bunga rekah
“kapan kan aku jelang lagi tirani?”
tanyamu, saat tubuhku lepas begini
tiada hati,
betapa sering pun kau kecup altar Tuhan
dan membaca kitab-Nya
Temanggung, 2020
SENANDUNG ALAM
aku titipkan pada punggung ini
keberanian, tampak jauh di bulan
sedang kasihmu hanya untuk pengabdi
alam nan bersenandung
telah menggerus kenangmu atas diriku
di waktu-waktu maha pelik
bahkan, ketika tak ingin terjaga
maka terus kau langitkan doa
agar detak jantung itu lekas
memburu, dari balik lembah-lembah
ketika kau salah berpijak
satu kali saja tak bakal ada tujuan pulang
kautemukan aku, menemukanmu
di dasar jurang tak bertuan.
Temanggung, 2020
TERAPUNG
saat tubuh ini istirah
bersua dasar segara,
ada yang menendangku julang udara
terik itu tak mampu butakan
mata, ingin aku terjaga
apakah kini langit biru,
sedang awan keabuan?
pekikan alam, o, menusuk
setelah terombang-ambing
kini tersentuh
di pinggiran geladak
tak ada yang mengenaliku
sampai nanti kekasih
hujan sore hari
Temanggung, 2020
- PUISI ARIS SETIYANTO: FRAGMEN MASA LALU – 06/12/2020