JENDELA
Setiap hari,
Aku mendekap jendela
Lalu kubuka dengan perlahan
Membuang setan-setan
Memandang batu berlumut
Diciumi rinai hujan
Pelan-pelan terbelah
dan menangis tertawa
Tidakkah kau mendengar
tentang batu terbelah oleh rinai hujan?
Kampung seringkali membisu
Ketika ditanya, ke mana bianglala yang kau pigura itu?
Kota seringkali membungkam mulutnya dengan sebungkus nasi
Ketika ditanya, ke mana pabrik-pabrik pembunuh itu?
Tubuh yang kehilangan kepala
Menjadi asing di desa
Menjadi asing di kota
Padahal, aku membuka jendela setiap hari?
Brebes-Yogyakarta, 2020.
ZIARAH PARA PENYAIR
Ingatan tak pernah memanggil buku-buku bisu
Derita yang paling kejam adalah diam dan tenggelam; pergi
Keluar dari lembaran-lembaran perang
Berceracau zaman berdebu rapuh, merangkai perjalanan sunyi
Rindu bersekat gaduh
Beradu dalam gemuruh
Meninggalkan segala yang tabuh
Aku menanam tuan dan puan
yang menjadi cikal dari syair-syairmu
sepasang mata berkaca memecahkan air dan api
berkelindan, mengalir di atas takdir
Kaulah dongeng sebelum aku hidup
mengunci dalam pintu-pintu maaf
tergurat mati dijarah kelopak yang masih kuncup
adalah tubuhmu
dicintai arwah para penyair
semburat gunung tersungkur dalam syukur
berkunang-kunang pada rindang doa!
(2020)
RUANG
Di ruang tunggu, cemas membekas pada dinding-dinding dingin
Membeku kaku aku yang terpaku di tembok waktu
Orang-orang menyelam, mereka mencari tubuhnya di antara senja dan shubuh
Mereka menyeburkan mata dan telinganya ke dalam lautan puisi
(2020)
SUBANG
Kebun rindu, hijau dan sederhana
ilalang dan padi
terbit
di bawah kelana senja
tapi hanya wajah
yang pergi mencarinya
ke mana aku harus mencari tubuh
tak pernah dijamah
pada riak berpeluh memeluk awan
dan cawan, hitam
perlahan
menampiaskan bulir-bulir kesedihan
(2020)
- PUISI-PUISI SYAMSUL BAHRI: ZIARAH PARA PENYAIR – 05/07/2020